BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Hadits merupakan sumber
hukum utama bagi umat Islam setelah Alqur’an, ia berfungsi sebagai landasan
hukum serta ajaran-ajaran yang terdapat dalam Alqur’an. Sulit membayangkan jika
hanya Alqur’an saja yang dipahami dan didekati tanpa melalui hadits. Karena
itulah hendaknya perhatian umat Islam terhadap hadits sejalan dengan perhatian
mereka terhadap Alqur’an.
Mata kuliah Ulumul Hadits
adalah salah satu bahan kuliah yang berhubungan tentang hadits maupun sunnah
nabi Muhammad SAW. yang dimulai dari pengertian hadits atau sunnah, sejarah
perkembangan hadits dimasa Rasulullah SAW. masa Khulafaur Rasyidin, masa
sahabat disertai pengumpulan dan pembukuan hadits, serta cabang-cabang ilmu
yang berhubungan dengan mempelajari ilmu-ilmu hadits (seperti rijalul
hadits, jarh wa at-ta’dil, dan lain-lain), tingkatan hadits, macam-macam
pembagian hadits, riwayat tokoh-tokoh ilmu hadits, dan lain-lainnya.
Ilmu hadits merupakan suatu
ilmu yang dengannya dapat diketahui betul tidaknya ucapan, perbuatan, keadaan
atau lain-lainnya, yang ahli hadits katakan berasal dari Nabi Muhammad SAW.
Sanad menurut bahasa
artinya “sandaran”,atau tempat kita bersandar. Menurut istilah ahli hadits,
sanad diartikan dengan “jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadits”.
Misalkan, seorang perawi berkata, “dikabarkan kepadaku oleh Malik yang
menerimanya dari Nafi’, yang menerimanya dari Abdullah ibn Umar, bahwa
Rasulullah bersabda….”, maka perkataan perawi tersebut “dikabarkan kepadaku
oleh Malik…” sampai dengan “bersabda Rasul,” dinamakan dengan isnad. Isnadyaitu
menerangkan sanad hadits (jalan menerima hadits) atau menghubungkan hadits
kepada orang yang meriwayatkan sebagai sandaran[1],
orang yang menerangkan hadits dengan menyebut sanadnya disebut musnid,
sedangkan hadits yang disebut dengan diterangkan sanadnya yang sampai kepada
Nabi SAW. dinamaimusnad.
Matan mengandung
arti “materi pembicaraan (teks/isi hadits) yang berada setelah penyebutan
sanad”. Matan dalam ilmu Hadits ditujukan kepada lafadz-lafadz dan omongan yang
terletak sesudah rawi dari akhir sanad[2].
Salah satu pembahasan yang
akan dikaji disini adalah mengenai tingkatan hadits dari segi bilangan ruwah (jumlah
orang yang meriwayatkannya) atau dikenal juga dengan kuantitas (jumlah) perawi/sanad,
yang menurut ulama salaf dibagi tiga macam, yaitu[3]:
1. Hadits
mutawatir
2. Hadits
masyhur, dan
3. Hadits
ahad.[4]
Jika memiliki jalur (sanad)
yang jumlah perawinya tidak terbatas pada bilangan yang pasti disebut hadits
mutawatir. Sedangkan jika memiliki jalur (sanad) yang jumlah perawinya bisa
dihitung dengan bilangan tertentu disebut hadits ahad.[5]
Dari segi pertalian sanad,
membagi hadits kepada empat tingkat, yaitu:
a. Hadits-hadits
mutawatir
b. Hadits-hadits
masyhur, atau hadits-hadits mustafidh
c. Hadits-hadits
ahad (hadits-hadits khashshas) yang bersambung-sambung sanadnya.
d. Hadits-hadits
yang dalam rangkaian sanadnya ada yang gugur tidak bersambung-sambung, yakni
hadits-hadits mursal, munqathi’, dsb.
Berdasarkan latar belakang
diatas maka penulis akan membahas tentang “Klasifikasi Hadits Secara
Kuantitas Periwayatannya”, semoga dengan pembahasan ini dapat bermanfaat
dan berguna bagi penulis khususnya serta bagi mahasiswa mahasiswi pascasarjana
yang mengambil mata kuliah Ulumul hadits pada umumnya.
1.2 Rumusan
Masalah
Yang
menjadi rumusan masalah yang akan dikaji meliputi:
1.2.1.
Apa pengertian hadits
mutawatir, masyhur, dan ahad serta apa saja pembagiannya?
1.2.2.
Apakah konsekuensi dari
pengingkaan hadits mutawatir, masyhuur dan ahad?
1.2.3.
Kenapa ada perbedaan
pendapat ulama tentang kehujjahan hadits ahad?
1.2.4.
Bagaimana kehujahan hadits
ahad dalam persoalan aqidah?
1.3 Tujuan
Penulisan
Penulisan makalah ini
bertujuan untuk:
1. Mengetahui
macam-macam hadits ditinjau dari segi kuantitasnya terdiri dari hadits
mutawatir, Ahad, dan masyhur,
2. Mengetahui
konsekuensi pengingkaran dari hadits mutawatir, ahad, dan masyhur.
3. Mengetahui
perbedaan pendapat ulama tentang kehujjahan hadits ahad.
4. Mengetahui
kehujjahan hadits ahad dalam persoalan aqidah.
1.4 Manfaat
Penulisan
Penulisan makalah ini adalah
agar kita dapat mengetahui klasifikasi hadits dari segi kuantitasnya, sehingga
nantinya kita nantinya lebih dapat memahami macam-macam hadits tersebut, serta
hal-hal yang berhubungan dengan pengingkaran dan kehujjahan hadits tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Klasifikasi
Hadits Secara Kuantitas
Ulama berbeda pendapat
tentang pembagian hadits yang ditinjau dari segi kuantitas ini. Maksud dari
segi kuantitas disini adalah dengan menelusuri jumlah para perawi yang menjadi
sumber adanya suatu hadits. Para ahli ulama ada yang mengelompokkan menjadi
tiga bagian, yaitu hadits mutawatir, masyhur, dan ahad,
ada juga yang membaginya hanya dua saja yaitu hadits mutawatir, dan ahad.
Pendapat pertama yang
menjadikan hadits masyhur berdiri sendiri dan tidak termasuk bagian dari hadits
ahad, dianut oleh sebagian ahli ushul, salah satunya Abu Bakar Al-Jassas
(305-370 H). Pendapat kedua diikuti oleh kebanyakan ulama ushul dan ilmu kalam,
menurut mereka hadits masyhur bukan merupakan hadits yang berdiri sendiri, akan
tetapi hanya bagian dari hadits ahad, sehingga mereka membaginya menjadi dua
macam saja yaitu mutawatir dan ahad[6].
Menurut Mahmud Thahhan,
ditinjau dari segi kuantitas (jumlah) perawi/ sanadnya, maka Hadits terbagi
menjadi 2 macam[7]:
1. Jika
memiliki jalur (sanad) yang jumlah perawinya tidak terbatas pada bilangan yang
pasti, maka disebut dengan Hadits Mutawatir.
2. Jika
memiliki jalur (sanad) yang jumlah perawinya bisa dihitung dengan bilangan
tertentu, disebut dengan Hadits Ahad.
Kedua macam hadits diatas
masing-masing mempunyai pembagian dan rinciannya tersendiri.
2.2 Pengertian
Mutawatir, Masyhur, Ahad Dan Pembagiannya
2.2.1. Pengertian Hadits Mutawatir serta
Pembagiannya
Kata
mutawatir menurut lughah ialah mutatabi yang
berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Sedang menurut istilah adalah “suatu hadits yang dapat ditangkap panca
indera dan diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan,
mereka mustahil berkumpul dan bersepakat untuk dusta”. Pengertian ini
mengecualikan 2 hal. Pertama, segala berita yang diriwayatkan
dengan tidak bersandar pada panca indera, seperti meriwayatkan tentang
sifat-sifat manusia, tidaklah terkategori terhadap hadist ini. Kedua,
berita yang dapat diindera dan diriwayatkan oleh perawi yang banyak tetapi
mereka dimungkinkan untuk berserikat dan membuat hadist dusta, juga tidak bisa
dimasukkan menjadi hadist ini.
Menurut Syaikh Manna’
Al-Qaththan[8],
mutawatir menurut bahasa adalah isim fa’il dari at-tawatur yang
artinya berurutan. Menurut istilah, mutawatir adalah “apa yang diriwayatkan
oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari
melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad”. Atau “hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut
akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan
hadits, dan mereka bersandar dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat
diketahui dengan indera seperti pendengaran dan semacamnya”.
Sedangkan menurut Zeid B. Smeer[9],
hadits mutawatir adalah “hadits yang diriwayatkan dari kelompok ke kelompok
pada tiap tataran (thabaqoh) dengan jumlah perawi yang banyak, sehingga
akal menyatakan mustahil mereka sepakat untuk bohong, dan proses tersebut dapat
diindera oleh panca indera”.
v Pembagian
Hadits Mutawatir
Menurut sebagian ulama,
hadits mutawatir itu terbagi menjadi dua bagian, yaitumutawatir lafzhi dan mutawatir
ma’nawiy[10].
Ada juga yang membaginya menjadi tiga bagian dengan menambah hadits mutawatir
‘amaliy[11].
1. Mutawatir
Lafzhi, adalah hadits mutawatir yang berkaitan dengan lafad perkataan Nabi SAW.
Artinya perkataan Nabi yang diriwayatkan oleh orang banyak kepada orang banyak.
Contohnya:
مَنْ
كَذَ بَ عَلَيً مُتَعَمـدا فليتبوأ مقعده من النار.
Artinya: “Barangsiapa berbuat dusta atas
namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menempati tempat tinggalnya di neraka”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini diriwayatkan
oleh 70 orang sahabat.
2. Mutawatir
ma’nawiy, adalah hadits mutawatir yang menyangkut amal perbuatan nabi SAW.,
atau beberapa hadits yang bisa jadi riwayatnya tidak mutawatir namun jika
riawayat tersebut dikumpulkan maka terdapat satu makna yang sama[12].
Contohnya hadits tentang nabi SAW. yang mengangkat kedua tangannya ketika
berdo’a:
قال
أبو موسى الأشعري دعا النبي صلى الله عليه وسلم ثم رفع يد يه ورأيت بياض ﺇبطيه
“Abu
Musa al-Asy’ari berkata: Nabi SAW. berdo’a kemudian dia mengangkat kedua
tangannya dan aku melihat putih-putih kedua ketiaknya” (HR. Bukhari).
Hadits seperti ini diiwayatkan dari Nabi SAW.
berjumlah sekitar 100 hadits dengan redaksi yang berbeda-beda, tapi mempunyai
persamaan, yaitu keadaan Nabi SAW. mengangkat tangan saat berdo’a.
3. Mutawatir
‘amali, adalah sesuatu yang dketahui dengan mudah bahwa dia termasuk urusan
agama dan telah mutawatir antara umat Islam, bahwa nabi SAW. Mengerjakannya,
menyuruhnya, atau selain dari itu, dan pengertian ini sesuai dengan ta’rif
ijma’. Hadits mutawatir ‘amali ini banyak jumlahnya, seperti hadits yang
menerangkan waktu shalat, raka’at shalat, shalat jenazah, shalat ‘id, tata cara
shalat, pelaksanaan haji, kadar zakat harta, dan lain-lain.
2.2.2
Pengertian Hadits Masyhur
dan Pembagiannya
Al-syuhrah (kemasyhuran)
secara etimologis berarti tersebar dan tersiar. Adapun pengertian Al-syuhrah, dalam
kaitannya dengan hadits masyhur menurut kebanyakan ahli
hadits yaitu “hadits masyhur adalah hadits yang memiliki sanad terbatas yang
lebih dari dua atau sekurang-kurangnya diriwayatkan oleh tiga orang”[13].
Hadits masyhur, yang
disambut baik oleh ulama abad ke-2 dan ke-3 serta telah terkenal baik diantara
mereka, walaupun dipandang sebagai hadits ahad namun ulama
Hanafiyah menjadikannya lebih tinggi daripada hadits ahad yang ain yang tidak
masyhur. Mereka menjadikan hadits masyhur diantarahaits mutawatir dan ahad.
Ulama Hanafiyah mentakhsiskan Alqur’an dengannya dan menambah hukum-hukum yang
tidak terdapat dalam Alqur’an dengannya. Hadits ahad yang lain tidak diberikan
fungsi ini.
v Hadits
masyhur dari segi diterima atau ditolak, dibagi menjadi 3 bagian, yaitu shahih,
hasan, dan dha’if. Contoh hadits masyhur yang shahih adalah[14]:
ﺇنما
لأعمال باالنيات.
“Bahwasanya segala amal itu
dengan niat”.
Hadits ini termasuk muttafaq
‘alaih (disetujui keshahihannya oleh Bukhari dan Muslim).
Contoh hadits masyhur yang
hasan:
لاضرر
ولا ضرار.
“Tidak boleh membiarkan bahaya datang dan
tidak boleh mendatangkan bahaya”.
Hadits ini diriwayatkan dari nabi SAW,
melalui banyak sanad yang dapat menempatkannya dalam derajat hasan atau shahih.
Hadits ini dinilai hasan oleh al-Nawawi dalam kitab al-Arba’in.
Contoh hadits masyhur yang
dha’if:
أطلبوا
العم ولو بالصين.
“Carilah ilmu walaupun ke negeri China”.
Hadits ini diriwayatkan melalui banyak
sanad dari Anas dan Abu Hurairah, namun semua sanadnya tidak terbebas dari rawi
yang cacat (majruh) dengan pencacatan (jarh) yang cukup serius. Oleh karena
itu, hadits diatas merupakan bagian dari hadits masyhur yang dha’if.
v Dari
segi lingkungan tersiar atau tersebarnya (tempat kemasyhurannya), maka hadits
masyhur terbagi menjadi banyak bagian, antara lain:
1. Hadits masyhur dikalangan ahli hadits
saja.
2. Hadits masyhur dikalangan Muhadditsin,
ulama lain serta masyarakat umum.
3. Hadits masyhur dikalangan fuqaha.
4. Hadits masyhur dikalangan ahli ushul fiqh.
5. Hadits masyhur dikalangan ulama ahli
bahasa Arab.
6. Hadits masyhur dikalangan ahli pendidikan.
7. Hadits masyhur dikalangan umum.
2.2.3 Pengertian Hadits Ahad dan Pembagiannya
Hadits Ahad adalah
“hadits yang periwayatannya tidak mencapai jumlah banyak orang, hingga tidak
mencapai mutawâtir”. Hadits Ahad yang ditinjau dari segi jumlah perawi dalam
sanadnya, dibagi menjadi 3 macam, yaitu:
1. Hadits
gharib
2. Hadits
‘aziz
3. Hadits
masyhur, disebut juga al-Mustafidh.
Bila hadits ahad yang
diriwayatkan oleh satu orang pada setiap jenjangnya maka dinamakan hadits
gharîb. Bila diriwayatkan oleh dua orang pada setiap jenjangnya disebut
dengan Hadits 'Azîz. Sedangkan Hadits Ahâd yang diriwayatkan oleh
tiga orang perawi namun tidak mencapai derajat mutawatir disebut Hadits
Masyhûr. Jadi, Hadits Ahâd itu hadits yang tidak sampai pada syarat-syarat
mutawatir.
Hadits gharib ditinjau dari
segi sifat penyendiriannya, terbagi menjadi gharib mutlak dan gharib
nisbi. Gharib mutlak yaitu bilamana kesendirian (gharabah) periwayatan
terdapat pada asal sanadnya (sahabat). Sedangkan gharib nisbi adalah apabila
keghariban terjadi pada pertengahan sanadnya bukan pada asal sanadnya.
v Salah
satu contoh hadits masyhur[15]:
ﺇن
الله لا
يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من العباد.
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan
menggenggam ilmu pengetahuan dengan mencabutnya dari para hamba”.
Hadits ini diriwayatkan
oleh al-Syaikhan (Bukhari dan Muslim), Turmudzi, Ibnu Majah, dan Ahmad.
v Contoh
hadits ‘aziz yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas dan
diriwayatkan Buhari dari Abi Hurairah:
لا
يؤمناحدكم حتى اكون أحب ﺇليه من ولده ووالده والناس أجمعين.
Artinya: “Sesungguhnya
Rasulullah SAW, bersabda:Tidaklah beriman seseorang diantara kamu, sehingga aku
lebih dicintai daripada dirinya sendiri, orang tuanya, puteranya dan manusia
semuanya”.
v Contoh
hadits gharib mutlak pada hadits Nabi SAW[16].:
الولاء
لحمة كلحمة السنب لايباع ولايوهب.
Artinya: “Kekerabatan
dengan jalan memerdekakan, sama dengan kekerabatan dengan nasab, tidak boleh
dijual dan tidak boleh dihibahkan”.
Hadits ini diterima dari
Nabi SAW, oleh Ibnu Umar dan dari Ibnu Umar hanya Abdullah ibnu Dinar saja yang
meriwayatkannya. Abdullah ibnu Dinar adalah seorang tabi’i yang dapat
dipercaya.
v Contoh
gharib nisbi pada hadits Malik dari Zuhri dari Anas r.a bahwa “Nabi SAW.
masuk kota Makkah dengan mengenakan penutup kepala diatas kepalanya”.
Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Malik dari Zuhri, dinamakan dengan gharib
nisbi karena kesendirian periwayatan hanya terjadi pada perawi tertentu.
2.3 Konsekuensi
Pengingkaran Hadits Mutawatir, Masyhur, dan Ahad
Pengingkaran adanya ijma
tentang keshahihan hadits tidak mempunyai dasar. Umat Islam telah sepakat
tentang keshahihan hadits yang termuat dalam Shahih Bukhari dan Shahih
Muslim, dan mereka menerimanya dengan baik. Para ulama juga telah
menegaskan kedudukan kedua kitab ini sebagai kitab yang paling shahih setelah
Al-Qur'an. Tidak ada satu orang pun yang mengingkari hal ini, kecuali Harun[17] dan
yang sehaluan dengannya. Penolakan ini tidak berpengaruh pada ijma atas
keshahihan hadits dalam Shahih Bukhari dan Shahih
Muslim.
Pengingkarannya yang
bersifat umum itu jauh dari sikap jujur dan objektivitas yang merupakan ciri
penelitian ilmiah. Bagaimana mungkin ia menggeneralisasi pengingkaran, padahal
tidak ada yang mengingkari, kecuali dirinya dan orang yang sepemikiran
dengannya. Sikap menggeneralisasi ini tidak dapat diterima dan sekaligus bukti
bahwa murid-murid kaum orientalis tidak memiliki objektivitas seperti yang
mereka klaim.
Tuduhannya bahwa hadits
berbeda dengan Al-Qur'an yang merupakan wahyu Allah juga tidak bisa diterima.
Alasannya, sabda Rasulullah saw. adalah wahyu, sesuai firman Allah yang artinya
sebagai berikut. "Dan tiadalah yang diucapkan itu (Al-Qur'an)
menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan kepadanya." (An-Najm: 3-4). Beliau ditugaskan untuk
menyampaikan sunnahnya, seperti ia ditugaskan untuk menyampaikan Al-Qur'an.
Simpulan Harun bahwa
kedudukan hujjah sunnah tidak seperti hujjah Al-Qur'an dari segi kekuatan,
kadang-kadang dapat diterima jika ia berdiri sendiri. Namun, introduksi yang ia
sampaikan sama sekali keliru. Sunnah adalah hujjah, seperti halnya Al-Qur'an
dan menempati posisi sumber hukum kedua. Ia juga independen dalam penetapan
syariat. Kedudukan hujjah sunnah dibuktikan oleh nash Al-Qur'an itu sendiri.
Allah SWT berfirman, "Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka
terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah." (Al-Hasyr:
7).
Hadits ahad atau juga
populer dengan sebutan khabar wahid ialah hadits yang tidak sampai ke tingkat
mutawatir. Secara ilmiah, ulama hadits membagi hadits berdasarkan jumlah
perawinya menjadi dua bagian: hadits mutawatir dan hadits ahad. Hadits
mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan oleh para rawi dalam jumlah
besar orang yang tidak memungkinkan mereka bersepakat untuk berdusta. Hadits
yang tidak mencapai derajat mutawatir disebut dengan khabar wahid.
Perlu diketahui, keshahihan
suatu hadits tidak bergantung pada banyak sedikitnya jumlah rawi. Faktor
penentu dan utama sebuah hadits dikategorikan shahih atau tidak adalah kualitas
atau kredibilitas perawi, apakah dia seorang terpercaya (tsiqah) atau seorang
tertuduh berdusta. Ketika satu hadits diriwayatkan oleh sedikit orang, atau
katakan satu orang saja, ia tidak otomatis telah dikategorikan dha'if (lemah).
Di bawah hadits ahad itu terhimpun tiga jenis hadits: masyhur, 'aziz, dan
gharib. Jadi, apabila termasuk ahad, sebuah hadits tidak langsung berarti
diriwayatkan oleh satu orang perawi saja.
Para ulama sepakat bahwa
kedudukan hadits ahad sebagai hujjah harus diamalkan. Akan tetapi, mereka
berbeda pendapat terhadap simpulan yang dihasilkan hadits ini. Para ahli fikih
dan mayoritas ahli hadits berpandangan bahwa hadits ahad yang diriwayatkan oleh
perawi yang berintegritas baik adalah hujjah yang harus diamalkan dalam masalah
agama, tetapi tiak memberikan simpulan yang bersifat pasti (ilmul yaqin).
Sebagian ahli hadits, seperti Imam Ahmad bin Hambal, bersimpulan bahwa hadits
ahad juga memberi simpulan yang bersifat pasti. Pendapat ini juga disebutkan
dari Imam Malik.[18]
Apa pun persoalannya, dapat
dikatakan bahwa hadits ahad menurut ulama adalah dapat dipercaya. Ia dirujuk
dalam menentukan halal dan haram dan mereka menggolongkannya sebagai salah satu
sumber syariat.
Pada abad kedua Hijriah
muncul segelintir orang yang berbeda pendapat dari ijma (kesepakatan) umat dan
mengingkari kedudukan hadits ahad. Sebagian lagi bersikap berlebih-lebihan
sampai tingkat mengingkari kedudukan hadits-hadits mutawatir. Al-Baghdadi
menjelaskan dalam bukunya Al-Farq Baina al-Firaq bahwa mereka
itu adalah kaum Mu'tazilah. Ia berkata, "Sesungguhnya An-Nazzham (230
H) berkata bahwa hadits mutawatir meskipun diriwayatkan oleh banyak perawi bisa
saja terdapat kedustaan di dalamnya."[19]
Ibnu Hazm menguatkan
perkataan Al-Baghdadi, "Seluruh kaum Muslimin menerima hadits ahad yang
diriwayatkan perawi yang bisa dipercaya dari Nabi saw. Hal ini terus
berlangsung dan diterima oleh berbagai kalangan, seperti Ahluss Sunnah,
Khawarij, Syi'ah, dan Qadariyah sehingga muncullah para ulama Mu'tazilah
setelah berlalu satu abad. Maka, mereka menyalahi ijma dalam masalah ini."[20]
Dari sisi lain, Harun
mengklaim bahwa yang disepakati kehujjahannya hanya hadits mutawatir, sedangkan
hadits masyhur dan ahad kedudukannya dipertentangkan. Ia menulis, "Yang
disepakati semua golongan umat Islam untuk dapat dipakai sebagai sumber hukum
adalah hadits mutawatir. Hadits masyhur dan ahad ada yang mau menerimanya dan
ada pula yang tidak mau menerimanya, golongan Mu'tazilah umpamanya."
Kita katakan bahwa tuduhan
ini sebenarnya bukan hal baru. Seperti kita ketahui, tuduhan ini sudah muncul
sejak lama. Imam Syafi'i telah berhadapan dengan pendukung pendapat ini pada
abad kedua Hijriah, berdebat langsung dengan orang-orang yang mengingkari
kedudukan hujjah hadits ahad dan membantah mereka dengan argumentasi ilmiah,
baik bersifat naql dari Al-Qur'an dan sunnah maupun akal.
Perdebatan ini
terdokumentasikan dalam bukunya, Ar-Risalah. Sayangnya, Imam
Syafi'i tidak menyebutkan identitas orang yang didebatnya, dan dari kelompok
mana mereka berasal. Namun, beliau menyebutkan bahwa mereka tinggal di Bashrah,
dan kebanyakan para ahli ilmu kalam itu, termasuk di dalamnya Mu'tazilah, saat
itu berada di Bashrah.
Di tempat lain, Al-Hafidz
al-Hazimi mengungkapkan bahwa orang yang mengingkari adalah kaum Mu'tazilah,
dengan menegaskan bahwa hal ini dimaksudkan untuk menghancurkan hukum karena
kebanyakan hukum syariat ditetapkan berdasarkan hadits-hadits ahad. Jika
berargumentasi dengan hadits-hadits ahad itu dianggap tidak sah, dengan
sendirinya hukum-hukum syariat dianggap tidak sah pula. Al-Hazimi berkata,
"Saya tidak pernah mendengar seorang pun dari firqah (aliran) Islam yang
mempersoalkan keberadaan hadits ahad, kecuali kalangan Mu'tazilah. Mereka
menganalogikan (menyamakan hukum) riwayat dengan kesaksian ...." Sasaran
mereka adalah meruntuhkan hukum-hukum syariat, seperti dikatakan Abu Hatim bin
Hibban."[21] Imam
Syafi'i yang bergelar "Nashir as-Sunnah" (Pembela Sunnah)
mengemukakan beberapa dalil yang menunjukkan bahwa hadits ahad adalah hujjah
dan menantang para pengingkarnya. Beberapa pembelaannya antara lain sebagai
berikut.
1. Abdullah
bin Mas'ud r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, "Semoga
Allah mencerahkan wajah hamba-Nya yang mendengar sabdaku, menghafal, memahami,
dan menyampaikannya. Bisa saja orang yang meriwayatkan tidak paham apa yang
diriwayatkannya, mungkin saja orang yang mendengar lebih paham dari perawi yang
meriwayatkannya."
2. Imam
Syafi'i menjelaskan segi argumentasi hadits ini, "Rasulullah saw.
memotivasi seseorang untuk mendengar, menghafal, dan menyampaikan sabdanya”.
Kata "seseorang" di sini artinya satu. Ini menunjukkan
bahwa Nabi memerintahkan satu orang untuk menyampaikan apa yang terkait dengan
halal, haram, hukuman yang harus dilaksanakan, harta yang harus diambil dan
diberikan, dan nasihat soal agama dan dunia. Berarti, berita dari satu orang
adalah hujjah." (Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi'i (150-204 H), Ar-Risalah,
tahqiq Syaikh Ahmad Syakir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hlm. 402-403).
3. Diriwayatkan
dari Abu Rafi' bahwa Nabi saw. bersabda, "Aku tidak sekali-kali mendapat
salah seorang dari kalian yang duduk di atas tempat duduknya, lalu datang
urusanku yang berkaitan dengan yang aku larang atau aku perintahkan, lalu ia
berkata, 'Kami tidak tahu. Apa yang kami dapati dalam kitab Allah itulah yang
kami ikuti'." (R Al-Hakim).
Argumentasi hadits, seperti
disebutkan Imam Syafi'i, adalah "Bahwa berita dari Rasulullah saw. harus
dilaksanakan, meskipun mereka tidak menemukan nash dalam kitab Allah."[22]
Diriwayatkan dari Ibnu Umar
r.a., ia berkata, "Ketika orang berada di Quba' untuk melaksanakan shalat
shubuh, seseorang datang dan berkata, 'Sesungguhnya telah turun ayat Al-Qur'an
kepada Rasulullah saw., dan ia diperintahkan untuk menghadap kiblat ke Kakbah.
Mereka lalu menghadap Kakbah, padahal sebelumnya menghadap ke Syam, lalu mereka
memutar badan menghadap Kakbah'." [23]
Sisi argumentasi kisah ini,
penduduk Quba menghadap ke kibat yang telah ditetapkan oleh Allah, dan mereka
tidak meninggalkan kewajiban ini, hingga terdapat hujjah (dalil). Ketika
pembawa berita tentang perubahan kiblat, mereka tidak menunggu hingga Rasulullah
saw. datang untuk menguatkan berita ini. Mereka juga tidak bersikap tawaquf
(abstain) terhadap keshahihan berita tersebut hingga tersebar luas di
tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi, mereka segera menghadap ke Kakbah dengan
alasan hadits yang dibawa satu orang, dan Rasulullah saw. tidak mengingkari
sikap mereka. Jika hadits ahad yang mereka amalkan itu tidak dapat dijadikan
hujjah, insya Allah mereka akan berkata, "Kalian sudah menghadap kiblat.
Kalian tidak boleh meninggalkannya, kecuali telah mengetahui betul hingga dapat
dijadikan hujjah dari pendengaran kalian dariku, atau berita umum, atau lebih
dari berita satu orang dariku."[24] Akan
tetapi, hal itu tidak terjadi. Sangat banyak nash-nash sunnah yang disampaikan
Imam Syafi'i. Semuanya tegas menunjukkan bahwa hadits ahad dapat dijadikan
hujjah jika pembawa berita memiliki integritas yang baik.
Dari sini, jelaslah bagi
kita bahwa hadits ahad adalah hujjah dan harus diamalkan. Umat Islam telah
sepakat akan hal ini. Adapun pengingkaran kaum Mu'tazilah seperti disebutkan
Harun tidak diperhitungkan dan tidak bisa dijadikan cacat yang merusak ijma.
Alasannya, mereka menyimpang dari garis besar Islam, selain tidak memiliki
argumentasi yang kuat.
Dari segi lain, Mu'tazilah
telah mengingkari sunnah secara keseluruhan, termasuk di dalamnya hadits-hadits
mutawatir. Ini tidak seperti dugaan Harun bahwa mereka hanya mengingkari hadits
ahad dan masyhur. Dengan demikian, jelaslah bahwa berbagai tuduhan yang
dilemparkan oleh Harun Nasution seputar hadits sama sekali tidak punya basis
argumentasi yang kuat. Semua itu dibangun oleh dugaan dan merupakan pengulangan
terhadap pernyataan orientalis tanpa sikap kritis.
2.4 Perbedaan Pendapat Ulama Tentang
Kehujjahan Hadits Ahad
Hujjah atau Hujjat (bahasa
Arab: الحجة) adalah istilah yang banyak digunakan didalam Al-Qur'an dan
literatur Islam yang bermakna tanda, bukti, dalil, alasan atau argumentasi.
Sehingga kata kerja "berhujjah" diartikan sebagai "memberikan
alasan-alasan". Sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an:
قُلْ
فَلِلّهِ الْحُجَّةُ الْبَالِغَةُ فَلَوْ شَاء لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِينَ .
Artinya: “Katakanlah: “Allah mempunyai hujjah
yang jelas lagi kuat; maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk
kepada kamu semuanya”. (QS. Al-An’am:149).
Kadangkala kata hujjah disinonimkan
dengan kata burhan[25],
yaitu argumentasi yang valid, sehingga dihasilkan kesimpulan yang dapat
diyakini dan dipertanggungjawabkan akan kebenarannya. Dari pengertian
seperti itulah hujjah dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu hujjah
naqliyyah dan hujjah ‘aqliyyah.
1. Hujjah
Naqliyyah (Argumentasi Dogmatikal/Doktrin)
حجة
نقلية هي ما كان من الكتاب والسنة والإجماع Hujjah Naqliyah ialah suatu keterangan, bukti, alasan,
atau argumentasi yang diambil (dinukil) dari firman Allah (Al-Qur'an)
dan sunnah rasul-Nya (Hadits)
serta sunnah para sahabatnya (yaitu Khulafaur Rasyiddin)[26] danijma' mereka.
2. Hujjah
‘Aqliyyah (Argumentasi Rasional/Akal)
Hujjah ‘Aqliyyah maksudnya
keterangan, alasan, bukti atau argumentasi yang berdasarkan pada hasil
pemikiran manusia secara logis dan sistematis. Berfikir seperti inilah yang
kemudian menjadikan sebuah metode pengembangan ilmu sebagai salah satu bukti
akan berkembangnya konsep epistimologi dalam Islam. Hal ini dapat dapat
dibultikan dengan cara memperlihatkan bagaimana ilmu itu diturunkan kepada
orang, dan untuk menjawab pertanyaan ini tidak bisa dengan hanya melakukan
observasi dan eksperimen saja, sebab untuk memulai progam pengkajian,
diperlukanlah hipotesis dan untuk bisa sampai pada jumlah hipotesis
diperlukanlah adanya proses berfikir dan berimajinasi yang intens, sehingga
dari hipotesis tersebut dapat dilakukan observasi dan eksperimen untuk kemudian
mendapatkan suatu hasil penelitian atau penemuan-penemuan sekalipun hasil
akhirnya masih sangat terbatas.
Hadits Ahâd menurut
Muhadditsin (para ahli hadits) dan Jumhur (mayoritas) ulama muslimin, wajib
diamalkan apabila memenuhi syarat keshahihan dan diterimanya hadits itu[27].
Dalam hal ini, terdapat 3 pendapat seputar masalah: Apakah Khabar al-Wâhid atau
Hadîts Ahâd dapat memberikan informasi yang pasti (bersifat keilmuan dan yaqin).[28]
2.5 Kehujjahan
Hadits Ahad Dalam Persoalan ‘Aqidah
Para
pemegang pendapat kedua diatas, yang menyatakan bahwa Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd)
tidak memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin), melandasi
pendapat mereka tersebut dengan kerangka berfikir : tidak boleh berhujjah
dengannya di dalam masalah 'Aqidah karena masalah 'Aqidah bersifat Yaqiniyyah
yang hanya memerlukan sesuatu yang pasti (Qath'iy) .
Dalam hal ini, Kaum
Mu'tazilah tidak menerima Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) di dalam masalah 'Aqidah, kecuali
bila sealur dengan Akal/logika, baru dapat dijadikan argumentasi tetapi itupun
hanya dalam rangka sebagai penegas/penguat bukan hujjah. Jika tidak demikian,
maka khabar seperti itu ditolak dan dianggap bathil, kecuali bila mengandung
interpretasi yang bukan dipaksa-paksakan. Teori berfikir kaum Mu'tazilah ini
diamini oleh kebanyakan kaum Ahli Kalam (Mutakallimin) dari tokoh Asyâ'irah
(Madzhab Asy'ariyyah) seperti Abu al-Ma'âliy al-Juwainiy dan al-Fakhr ar-Râziy.
v Bantahan Terhadap Pendapat Ini
Untuk membantah pendapat
ini, cukup dengan menyatakan pernyataan sebelumnya bahwa Khabar Ahâd (Hadîts
Ahâd) yang dipertegas dengan Qarâ`in(dalil-dalil penguat) dapat
memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) sebab alasan
utama yang dijadikan pegangan oleh mereka yang menolak tersebut hanyalah :
Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) tidak boleh dijadikan hujjah di dalam masalah-masalah
'Aqidah karena informasi yang diberikannya bersifatZhanniy (tidak
pasti) dan tidak dapat memberikan informasi ilmu.
v Argumentasi-Argumentasi Pendapat Ketiga (Madzhab Salaf)
Di Dalam Masalah Ini
1. Membeda-bedakan
antara masalah-masalah 'aqidah dan hukum di dalam berargumentasi dengan Khabar
Ahâd (Hadîts Ahâd) merupakan perbuatanbid'ah (mengada-ada) yang
tidak pernah dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu (Salaf). Bahkan biografi dan
karya-karya tulis mereka menunjukkan hal yang amat kontras sama sekali dengan
hal itu. Para shahabat, Tabi'in, Tabi'ut Tabi'in dan Ahl al-Hadits dan
as-Sunnah masih senantiasa berhujjah dengan khabar-khabar seperti itu di dalam
menetapkan masalah Shifat Allah, Qadar, Asmâ`, Hukum-hukum, dan lain
sebagainya.
2. Adanya
khabar-khabar (hadits-hadits) yang mutawatir dari Nabi SAW. tentang tindakan
beliau mengirimkan para utusan dan Da'i beliau ke pelbagai pelosok negeri,
demikian juga kepada para raja, kisra, kaisar dan selain mereka dalam rangka
mendakwahi mereka kepada Allah. Sudah barang tentu, hal pertama yang
disampaikan oleh mereka ketika itu adalah masalah 'Aqidah. Diantara
indikasinya adalah sabda Nabi SAW. kepada Mu'adz bin Jabal ketika hendak
mengutusnya ke negeri Yaman:
إنك
تقدم على قوم أهل الكتاب، فليكن أول ما تدعوهم إليه عبادة الله -عز وجل- . وفي
رواية : فادعهم إلى شهادة أن لا إله إلا الله ...""
Sesungguhnya
engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan Ahli Kitab; maka hendaklah hal
pertama yang engkau dakwahi/ajak mereka kepadanya (adalah) agar beribadah
kepada Allah 'Azza Wa Jalla."
Di
dalam riwayat yang lain,"…Maka, ajaklah mereka agar bersaksi bahwa Tiada
Ilah (Tuhan) -yang haq disembah- selain Allah."
3. Membeda-bedakan
antara masalah 'Aqidah dan Hukum di dalam berargumentasi dengan Khabar Ahâd (Hadîts
Ahâd) pada dasarnya hanya berpijak pada kerangka berfikir bahwa: amal
perbuatan tidak ada kaitannya dengan 'Aqidah dan 'Aqidah tidak
ada kaitannya dengan hukum-hukum 'amaliyyah (praktis).
Kedua statement ini adalah
Bathil dan termasuk bid'ah (hal yang diada-adakan) oleh Ahli Kalam. Islam
justeru membawa hal yang amat kontras dengan itu semua; Tidak ada hukum yang
bersifat 'amaliy (praktis) kecuali ia selalu berkaitan dengan dasar-dasar
'aqidah, yaitu Iman kepada Allah; bahwa Dia telah mengutus Rasul-Nya agar
menyampaikan dari-Nya hukum ini; beriman akan kebenaran Rasul, amanahnya di
dalam menyampaikan risalah kemudian beriman kepada konsekuensi-konsekuensi dari
hukum 'amaliy tersebut yang berupa pahala atau dosa; kesengangan atau
kesengsaraan. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta'ala dalam surat An-Nuur ayat
2:
"Perempuan yang
berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah…"
Ayat diatas menunjukkan hukum 'amaliy,
kemudian Allah Ta'ala berfirman :
"…jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akherat…" (Q.S. An-Nûur :2).
"…jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akherat…" (Q.S. An-Nûur :2).
Jadi, (dalam penutup ayat
ini) Allah Ta'ala mengaitkan hukum 'amaliy dengan 'aqidah beriman kepada Allah
dan Hari Akhir[29].
v Sekilas Tentang pandangan Imam Asy-Syafi'iy
Imam asy-Syâfi'iy dijuluki
oleh kalangan Ahlu al-Hadîts sebagai Nâshir as-Sunnah (pembela as-Sunnah). Ini
tentu saja merupakan penghargaan tertinggi terhadap sosok beliau dan bukan hanya
sekedar simbol belaka. Sikap, ucapan dan karya-karya tulis beliau menjadi saksi
untuk itu.
Dimasa hidup beliau, timbul
bermacam-macam aliran keagamaan yang mayoritasnya selalu menyerang as-Sunnah.
Mereka dapat dibagi menjadi tiga kelompok: Pertama, mengingkari
as-Sunnah secara keseluruhan. Kedua, tidak menerima as-Sunnah
kecuali bila semakna dengan al-Qur'an. Ketiga, menerima as-Sunnah
yang mutawatir saja dan tidak menerima selain itu alias menolak Hadits Ahâd.
Beliau menyikapi ketiga
kelompok tersebut dengan tegas; kelompok pertama dan kedua tersebut secara
terang-terangan ingin merontokkan as-Sunnah dan tidak menganggapnya sebagai
salah satu sumber utama hukum Islam yang bersifat independen sementara kelompok
ketiga, tidak kurang dari itu.
Terhadap kelompok
pertama, beliau menyatakan bahwa tindakan mereka tersebut amat berbahaya
karena dengan begitu rukun Islam, seperti shalat, zakat, haji dan
kewajiban-kewajiban lainnya menjadi tidak dapat dipahami bila hanya berpijak
kepada makna global dari al-Qur'an kecuali dari makna secara etimologisnya
saja. Demikian pula terhadap kelompok kedua, bahwa implikasinya
sama saja dengan kelompok pertama. Sedangkan terhadap kelompok ketiga,
beliau membantah pendapat mereka dengan argumentasi yang valid dan detail. Diantara
bantahan tersebut adalah sebagai berikut:
·
Di dalam mengajak kepada
Islam, Rasulullah mengirim para utusan yang jumlahnya tidak mencapai angka
mutawatir. Maka bila memang angka mutawatir tersebut urgen sekali, tentu
Rasulullah tidak merasa cukup dengan jumlah tersebut sebab pihak yang dituju
oleh utusan tersebut juga memiliki hak untuk menolak mereka dengan alasan tidak
dapat mempercayai dan mengakui berita yang dibawa oleh mereka.
·
Bahwa di dalam peradilan
perdata dan pidana yang terkait dengan harta, darah dan nyawa harus diperkuat
oleh dua orang saksi padahal yang menjadi landasannya adalah khabar (hadits)
yang diriwayatkan oleh jumlah yang tidak mencapai angka mutawatir alias Hadits
Ahâd tetapi meskipun demikian, asy-Syâri' (Allah Ta'ala) tetap mewajibkan hal
itu.
·
Nabi SAW. membolehkan orang
yang mendengar darinya untuk menyampaikan apa yang mereka dengar tersebut
meskipun hanya oleh satu orang saja. Beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam
bersabda: "Mudah-mudahan Allah memperbaiki akhlaq dan derajat seseorang
(seorang hamba) yang mendengar hadits dari kami lantas menghafalnya hingga
menyampaikannya; (sebab) betapa banyak orang yang membawa ilmu (hanya berilmu
dan tidak lebih ilmunya namun dia menghafal dan menyampaikannya) kepada orang
yang lebih berilmu darinya dan betapa banyak orang yang membawa ilmu tetapi dia
tidak berilmu (namun mendapatkan pahala menyampaikannya).”(H.R.Abu Daud)
·
Para shahabat menyampaikan
hadits-hadits Rasulullah secara individu-individu dan tidak mensyaratkan harus
diriwayatkan oleh orang yang banyak sekali.
Demikianlah diantara
bantahan beliau di dalam menegaskan wajibnya menerima hadits Ahâd[30].
v Fatwa Ulama Kontemporer
Syaikh Muhammad bin Shâlih
al-'Utsaimîn ditanya tentang orang yang menganggap hadits-hadits Ahâd tidak
dapat dijadikan landasan dalam masalah 'aqidah menjawab:
"Tanggapan kami
terhadap orang yang beranggapan bahwa hadits-hadits Ahad tidak dapat menjadi
landasan dalam masalah 'aqidah dengan alasan ia hanya memberikan informasi
secara zhann (tidak pasti) sedangkan masalah 'aqidah tidak dapat dilandasi oleh
sesuatu yang bersifat zhann adalah bahwa pendapat semacam ini tidak tepat sebab
dilandaskan kepada sesuatu yang tidak tepat pula”. Ini dapat dibuktikan
dengan beberapa tinjauan:
·
Pendapat bahwa hadits Ahad
hanya memberikan informasi secara zhann tidak dapat digeneralisir sebab ada
banyak khabar/berita yang bersifat Ahâd (individuil) dapat memberikan informasi
secara yakin, yaitu bila ada qarâ-in(dalil-dalil penguat) yang
mendukung kebenarannya seperti ia telah diterima secara luas oleh umat.
Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh 'Umar bin al-Khaththab ra. : "Sesungguhnya
semua pekerjaan itu tergantung kepada niat". Ini merupakan khabar
Ahâd, meskipun demikian kita tahu bahwa Nabi SAW. yang mengucapkannya. Statement
seperti ini telah dianalisis oleh Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah, al-Hâfizh
Ibnu Hajar, dan lainya.
·
Bahwa Nabi SAW. mengirimkan
individu-individu (orang per-orang) guna mengajarkan permasalahan 'aqidah yang
prinsipil (Ushûl al-'Aqîdah), yakni dua kalimat syahadat (Lâ ilâha
illallâh, Muhammad Rasûlullâh) sedangkan pengiriman yang dilakukan oleh
beliau merupakan hujjah yang tidak dapat ditolak. Indikatornya, beliau
mengirimkan Mu'adz bin Jabal ke negeri Yaman. Mu'adz menganggap pengiriman
dirinya sebagai hujjah yang tidak dapat ditolak oleh penduduk Yaman dan harus
diterima.
·
Bila kita mengatakan bahwa
masalah 'aqidah tidak dapat dilandaskan kepada khabar Ahâd, maka berarti bisa
dikatakan pula bahwa al-Ahkâm al-'Amaliyyah (hukum-hukum yang
terkait dengan perbuatan/aktivitas) tidak dapat juga dilandaskan kepada khabar
Ahâd sebab al-Ahkâm al-'Amaliyyahselalu disertai oleh suatu 'aqidah
bahwa Allah Ta'ala memerintahkan begini atau melarang begitu. Bila pendapat
semacam ini (yang mengatakan bahwaal-Ahkâm al-'Amaliyyah tidak
dapat juga dilandaskan kepada khabar Ahâd) diterima, tentu banyak sekali
hukum-hukum syara' yang tidak berfungsi. Konsekuensinya, bila pendapat semacam
ini harus ditolak, maka tentunya pendapat yang mengatakan bahwa masalah 'aqidah
tidak dapat dilandaskan kepada khabar al-Ahâd harus ditolak pula karena tidak
ada bedanya.
·
Bahwa Allah Ta'ala
memerintahkan orang yang jahil/tidak tahu agar merujuk kepada pendapat Ahl
al-'Ilm (ulama) terhadap salah satu permasalahan 'aqidah yang maha penting,
yaitu tentang risalah. Allah Ta'ala berfirman: "Dan Kami tidak mengutus
sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka;
maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui". (Q,S. An-Nahl: 43)… dan hal ini mencakup pertanyaan yang
diajukan oleh individu atau kelompok.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Para ahli ulama
mengelompokkan hadits dari segi kuantitas menjadi tiga bagian, yaitu
hadits mutawatir, masyhur, dan ahad, ada juga yang
membaginya hanya dua saja yaitu hadits mutawatir, dan ahad.
Hadits mutawatir adalah“suatu
hadits yang dapat ditangkap panca indera dan diriwayatkan oleh sejumlah besar
rawi, yang menurut kebiasaan, mereka mustahil berkumpul dan bersepakat untuk
dusta”.
Syarat hadits mutawatir
adalah “hadits yang diriwayatkan dari kelompok ke kelompok pada tiap tataran (thabaqoh)
dengan jumlah perawi yang banyak, sehingga akal menyatakan mustahil mereka
sepakat untuk bohong, dan proses tersebut dapat diindera oleh panca indera”.
Menurut sebagian ulama,
hadits mutawatir itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu mutawatir lafzhi dan mutawatir
ma’nawiy.
Hadits masyhur adalah
hadits yang memiliki sanad terbatas yang lebih dari dua atau sekurang-kurangnya
diriwayatkan oleh tiga orang.
Hadits masyhur dari segi
diterima atau ditolak, dibagi menjadi 3 bagian, yaitu shahih, hasan, dan
dha’if.
Hadits Ahad adalah “hadits
yang periwayatannya tidak mencapai jumlah banyak orang, hingga tidak mencapai
mutawâtir.
Hadits Ahad yang ditinjau
dari segi jumlah perawi dalam sanadnya, dibagi menjadi 3 macam, yaitu:
1. Hadits
gharib
2. Hadits
‘aziz
3. Hadits
masyhur, disebut juga al-Mustafidh.
Faktor
penentu dan utama sebuah hadits dikategorikan shahih atau tidak
adalah kualitas atau kredibilitas perawi, apakah dia seorang terpercaya
(tsiqah) atau seorang tertuduh berdusta. Ketika satu hadits diriwayatkan oleh
sedikit orang, atau katakan satu orang saja, ia tidak otomatis telah
dikategorikan dha'if (lemah).
Dalam hal ini, Kaum
Mu'tazilah tidak menerima Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) di dalam masalah 'Aqidah, kecuali
bila sealur dengan Akal/logika, baru dapat dijadikan argumentasi tetapi itupun
hanya dalam rangka sebagai penegas/penguat bukan hujjah.
Hujjah disinonimkan
dengan kata burhan, yaitu argumentasi yang valid, sehingga
dihasilkan kesimpulan yang dapat diyakini dan dipertanggungjawabkan akan
kebenarannya. Hujjah terbagi kepada Hujjah ‘Aqliyyah (Argumentasi
Rasional/Akal), dan Hujjah Naqliyyah (Argumentasi Dogmatikal/Doktrin).
Para pemegang pendapat
kedua diatas, yang menyatakan bahwa Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) tidak memberikan
informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin), melandasi pendapat mereka
tersebut dengan kerangka berfikir : tidak boleh berhujjah dengannya di dalam
masalah 'Aqidah karena masalah 'Aqidah bersifat Yaqiniyyah yang hanya
memerlukan sesuatu yang pasti (Qath'iy) .
3.2 Saran
Saya sebagai pemakalah
menyadari masih banyak kekurangan mengenai isi dari makalah ini, oleh karena
itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman semua agar
makalah ini dapat ditulis dengan lebih baik lagi.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
A.Qadir Hasan, Ilmu MUsthalah Hadits”,
cet.VII, Bandung: CV. Diponegoro, 1996.
Ahmad Muhammad Al-Syakir, Syarh Alfiyah
Al-Suyuthi fi’ilm Al-Hadits, Beirut: Dar Al-Ma’rifat, tt.
Al-Muwaththa', Kitab Al-Qiblat,
Bab Ma Ja'a fil Qiblah, juz 1, no. hadits 6.
Al Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Taqrib al-Nawawiy,
cet.II, Tahqiq Abdul al-Wahab Abdul al-Latief, tahun 1385 H.
Abdul Qadir bin Thahir al-Baghdadi, Al-Farqu
Baina al-Firaq, tahqiq Muhammad Muhyiddin, Dar al-Ma'rifah, 429 H.
Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Hazimi, Syuruth
al-A'immah al-Khamsah, komentar Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari, Maktabah
al-Qudsi, Kairo, 1357 H.
Buletin an-Nur, tahun VI, No. 247/Jum'at I/Jumadil Ula
1421 H.
Ibnu Hazm al-Andalusi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam,
Tahqiq Ahmad Syakir, Dar al-'Afaq al-Jadidah, Beirut, cet. pertama, tahun 1400
H, juz 1.
------------------------------------------, Tahqiq Ahmad
Syakir, Dar al-'Afaq al-Jadidah, Beirut, cet. pertama, tahun 1400 H, juz
1, Rif'at Fauzi, Tautsiq as-Sunnah.
Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi'i, Ar-Risalah,
tahqiq Syaikh Ahmad Syakir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 150-204 H.
Imam Solihin, Hadits Ditinjau dari Kuantitas
Perawinya, situs: http://musloemsejati. blogspot.com/2012/03/27/
hadits-ditinjau-dari-kuantitas-perawinya.html, diunggah hari Rabu 2 Oktober
2013.
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, cet. 1,
Malang: UIN-Malang Press, 2007.
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah &
Pengantar Ilmu Hadits, ed.3 , Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, ed.
Revisi, Jakarta: Raja Grafindo, 2002.
Nuruddin ‘Itr, ‘Ulum Al-Hadits 2 (Manhaj An-Naqd
Fii ‘Ulum Al-Hadits), cet. 1, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.
Syaikh Manna’Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu
Hadits, cet. 1, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, penerj. Mifdhol
Abdurrahman, Lc.
Zeid B. Smeer, Pengantar Studi Hadits Praktis,
cet.1, Malang: UIN-Malang Press, 2008.
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, jilid 1, Jakarta: UI Press, 1985.
Sofyan Efendi, Hadits Web: Kumpulan &
Referensi Belajar Hadits, (http://opi. 110mb.com), dari situs: http://www.alsofwah.or.id/?pilih
=lihathadits&id=50.
Syaikh 'Utsman 'Ali Hasan, Mashâdir al-Istidlâl
'Ala Masâ`il al-I'tiqâd.
[1]Mahmud
Thahhan, Intisari Ilmu Hadits,
(Malang: UIN-Malang Press, 2007), cet. 1, hlm. 29.
[2]A.
Qadir Hasan, Ilmu MUsthalah
Hadits”, (Banung: CV. Diponegoro, 1996), cet.VII, hlm. 24.
[3]Muhammad
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah
& Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), ed.3,
hlm. 153
[4]Pembagian
inilah yang dipegangi oleh kebanyakan fuqaha dan ahli ushul, kebanyakan ahli
hadits membagi dari jihat (segi) kemutawatiran dan tidaknya,
kepada 2 saja: mutawatir dan ahad. Jenis masyhur mereka masukkan
dalam ke dalam ahad, dan
mereka ta’rifkan masyhur dengan ta’rif yang lain yaitu “hadits yang
diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, tetapi tidak sampai ke derajat
mutawatir”.
[5]Mahmud
Thahhan, Intisari Ilmu Hadits.,
hlm. 31.
[6]Munzier
Suparta, Ilmu Hadits,
(Jakarta: Raja Grafindo, 2002), ed. Revisi, hlm. 95.
[7]Mahmud
Thahhan, Intisari Ilmu Hadits,
(Malang: UIN-Malang Press, 2007), cet. 1, hlm. 31.
[8]Syaikh
Manna’Al-Qaththan, Pengantar
Studi Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), penerj. Mifdhol
Abdurrahman, Lc., cet. 1, hlm. 110.
[9]Zeid
B. Smeer, Pengantar Studi
Hadits Praktis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), cet.1, hlm.39.
[10]Mahmud
Thahhan, Intisari Ilmu Hadits.,
hlm. 33, lihat juga Nuruddin al-‘Itr, Nuruddin
‘Itr, ‘Ulum Al-Hadits 2
(Manhaj An-Naqd Fii ‘Ulum Al-Hadits), (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994),
cet. 1, hlm. 199, Manna’ al-qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits.,
hlm.111.
[11]Munzier
Suparta, Ilmu Hadits.,
hlm. 101.
[12]Zeid
B. Smeer, Pengantar Studi
Hadits Praktis., hlm. 41.
[13]Muhammad
Hasbi Ash-Shiddieqy, op. cit,
hlm. 156.
[14]Nuruddin
‘Itr, ‘Ulum Al-Hadits 2.,
hlm. 202-203.
[15]Mahmud
Thahhan, Intisari Ilmu Hadits., hlm. 37.
[16]Munzier
Suparta, Ilmu Hadits., hlm. 119.
[17]Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985), jilid 1, hlm. 28-30.
[18]Ibnu
Hazm al-Andalusi, Al-Ihkam fi
Ushul al-Ahkam, Tahqiq Ahmad Syakir, Dar al-'Afaq al-Jadidah, Beirut, cet.
pertama, tahun 1400 H, juz 1, hlm. 119; Rif'at Fauzi, Tautsiq as-Sunnah, hlm. 89).
[19]Abdul
Qadir bin Thahir al-Baghdadi (429 H), Al-Farqu
Baina al-Firaq, tahqiq Muhammad Muhyiddin, Dar al-Ma'rifah, hlm. 132, 143,
dan 144.
[20]Ibnu Hazm
al-Andalusi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Tahqiq Ahmad Syakir, Dar
al-'Afaq al-Jadidah, Beirut, cet. pertama, tahun 1400 H, juz 1, hlm. 114.
[21]Abu
Bakar Muhammad bin Musa al-Hazimi, Syuruth
al-A'immah al-Khamsah, komentar Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari, Maktabah
al-Qudsi, Kairo, 1357 H, hlm. 47.
[22]Imam
Muhammad bin Idris asy-Syafi'i (150-204 H), Ar-Risalah,
tahqiq Syaikh Ahmad Syakir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hlm. 404.
[24]Imam
Muhammad bin Idris asy-Syafi'i (150-204 H), Ar-Risalah,
tahqiq Syaikh Ahmad Syakir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hlm. 408.
[25]Seperti pada terjemahan Al-Qur'an bahasa
Indonesia untuk Surah ke-21 Al-Anbiya: 24 "...Kul hatu burhana-kum..."
artinya "...Katakanlah: "Unjukkanlah hujjahmu!.." http://quran.com/21/24.
[26]Penggabungan
sunnah Khulafa al-Rosyidin ke dalan hujjah naqliyyah itu berdasarkan hadits
“Berpeganglah dengan sunnahku dan sunnah khulafaur Rasyidin yang mendapatkan
petunjuk”. (HR. Abu Dawud, Turmudzi dan Ibn Hatim dari ayahnya). Juga hadits:
“Maka hendaklah kamu berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah al-khulafa
al-rasyidin sesudah aku”. (HR. Ahmad bin Hanbal).
[27]Buletin
an-Nur, tahun VI, No. 247/Jum'at I/Jumadil ula 1421 H.
[28]Sofyan
Efendi, Hadits Web: Kumpulan
& Referensi Belajar Hadits, (http://opi.110mb.com),
dari situs: http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihathadits&id=50
[29]Syaikh
'Utsman 'Ali Hasan, Mashâdir
al-Istidlâl 'Ala Masâ`il al-I'tiqâd ,
Hal.42-48.
[30]Penggalan
dari materi Buletin an-Nur, dengan tema: Imam asy-Syafi'iy; pembelaannya
terhadap as-Sunnah.
Wynn Slots for Android and iOS - Wooricasinos
BalasHapusA free app for slot machines from casinosites.one WRI Holdings febcasino Limited that lets you play the popular games, such as free video slots, gri-go.com table wooricasinos.info games and communitykhabar live casino